1:31 AM

First moment - Kim Jinsa-

22 Oktober 2006, Seoul, Akhir Musim Gugur.

Aku terbangun, kulihat jam, baru pukul 8 pagi. Malas – malasan aku membuka kamarku. Seorang wanita setengah baya menatapku
“Eliza sayang, kamu sudah sarapan?”
“Not yet mom, can I go to my dreamland again mom?” aku menyahut, acuh dan sedikit tidak suka.
“Eliza, ini Korea, mama mau dengar han gul”
“If you keep calling me Eliza means that I don’t have any responsibility bout being Korean, mom” Aku bergelung lagi di kasur, suasana akhir musim gugur memang sangat menyenangkan untuk tidur, saat mata ini hendak terpejam, mama memulai aksinya lagi, ia menegakkan badanku tanpa usaha yangberarti seolah aku ini boneka
“Baiklah, Kim Jinsa, pagi ini begitu indah jika dihabiskan hanya untuk bertengkar. Bangun, mandi dan sarapanlah, lalu berangkat ke sekolah” dia mulai mendorong ku ke kamar mandi melemparkan piyama handuk biru mudaku dan menutup pintu kamar mandi itu.
“Ach.. Nein mama, Ich habe Kopfschmerzen (Ah.. No mama, no.. I got headache)” Banyak orang bilang aku keras kepala dan itulah aku.
“Kamu berada di Seoul sayang bukan lagi di Zurich, mama tidak mau dengar lagi bahasa Inggris, Jerman atau bahkan Perancis dari mulutmu. Lagipula kamu bukan anak kecil lagi, cepat keluar atau kimbapmu akan dingin dan keras ” mama berteriak dari luar.
“Oui” Aku mendengus tak suka.

Akhir Januari 2007, Di kelas SMU swasta Shindongshin

Di luar tadi dingin sekali, Seoul di musim dingin memang dingin dan menggigit, tapi yang paling mengecewakan aku belum melihat salju sampai sekarang, rasanya beda sekali dengan di Zurich. Aku menghela nafas sepertinya lumayan keras sampai ada yang menegurku,
“Jinsa-ssi, gwenchanayeo?” Rupanya Choi Jonghun yang menepuk pundakku tadi. Dia teman sekelasku, beberapa teman kelasku mengaguminya, Mereka bilang Jonghun tampan dan itu memang benar, tapi aku terlanjur tidak suka dengan wajah orang korea (ibuku pasti menangis karenanya). Jonghun juga katanya akan debut (yang aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya)
“Ya, aku baik – baik saja” kuberikan senyum simpulku padanya, dan berbalik lagi untuk menikmati melihat anak – anak kelas lain tengah berlarian membeli roti bakar di kios seberang pagar yang sepertinya agak menggugah seleraku.
“Jadi kamu tidak ikut pesta perayaan nanti sore?”
“Sepertinya tidak” aku melihat kearahnya, sekarang posisinya berada tepat di depanku. Sepertinya dia membalikkan posisi kursinya penuh
“Baru kali ini aku tahu ada anak perempuan yang lebih memilih berlatih di Gym daripada pergi ke pesta” dia tersenyum dengan senyum khasnya, tipis tapi membunuh, tapi sayangnya aku sudah terbiasa dan muak dengan senyum a la pangerannya yang seolah selalu ditujukan untuk menaklukkan banyak wanita itu.
“How he knows bout that, I never told anybody before?” aku berbicara, sudah rahasia umum orang korea seperti laki – laki dihadapanku ini tidak begitu fasih bahasa korea.
“No one told me, I just knew” aku ternganga, dia tersenyum, sepertinya dia bangga sekali karena bias menjawab pertanyaanku, anak kecil sekali lelaki dihadapanku ini.
“Ja, Ich habe Bodybuilding traineren” aku tersenyum balik, dia salah menantang, bahkan semua orang tahu Eliza paling tidak suka kalah dan dengan melihat dari raut mukanya yang pias aku tahu kami sudah 2-1, dan percakapan kami terhenti oleh gadis – gadis yang entah darimana membawakan roti bakar untuknya, dan salah satu diantara gadis itu memandang ku dengan tatapan membunuh. Aku beranjak mengambil tas dan coatku bersamaan dengan bel tanda homeroom class selesai.
GYM AREA
Aku menghapus keringatku, rasanya setelah berlatih bersama instruktur selama 2 jam cukup membuatku dehidrasi tiba – tiba. Kurogoh tasku, dibagian dimana biasanya aku meletakkan satu botol sport drink. Tapi aku tidak menemukan apapun disana. Haish, sepertinya aku lupa lagi untuk membelinya di bawah. Sifat pelupaku kali ini bisa membunuhku mungkin.
“Need a Water?” Tiba – tiba aku mendengarkan suara dibelakangku.
‘Oh God, it’s Holy Creature’ aku memandangi laki – laki yang membuat sport drink yang mungkin bisa jadi penawar tak lagi berarti apa – apa. Lelaki ini seperti David statue yang pernah aku lihat di Athena, bedanya lelaki dihadapanku tetap memakai boxing short hitam dengan badan benar – benar indah.
“Yeah Maybe” aku sedikit mengangguk sedikit, tapi masih tetap mengagumi keindahan di hadapanku. Dilihat dari pandangan orang – orang disekitarku (yang beru kusadari) sepertinya laki – laki ini sejenis orang penting seperti Artis, tapi entah kenapa dia dikelilingi laki – laki dengan wajah seperti tukang pukul?.Mungkinkah dia presiden atau pangeran korea? Tapi sepertinya tidak. Aku masih memandanginya
“ Maybe I’m too handsome so you still dazzled in your position and don’t take this one” Dia tersenyum, matanya yang khas korea itu menyipit dan aku tersadar dia itu orang korea
“Not really, if you ask me. No Hard feeling please, I’m in a position that never have any appetites in Korean guy” Dia tertawa mendengar caraku berbicara.
“But you look like Korean, hum.. a little”
“Yeah Literally I’m Korean, my parents are Korean, but I was born on Zurich and my father’s father is originally from Austria, so I’m a quarter of Austrian”
“hahaha, yeah, you looks like foreigner a lot, but your small eyes and your chubby cheeks tell me that you’re Korean..” Dan akhirnya dia menjelaskan bahwa dia bernama Jung Jihoon dan dia seorang pencari bakat, dia menawarkan aku kartu namanya dan sempat mengajakku berbicara dalam bahasa korea yang langsung kutolak dengan mengatakan bahwa aku tidak begitu lancar berbahasa korea.
“So I’m waiting for you Eliza, and this for you” Dia menyerahkan sport drink dan kartu namanya lalu berlalu dari hadapanku begitu saja.
Malamnya dirumah Eliza
“Hei sist, can you come here please…?” aku memanggil kakakku dari ruang tengah, dia sedang menghabiskan makan malamnya di meja makan
“Wae dongsaeng aa?? Aku sedang makan” Sepertinya orang di rumah ini terkena doktrin mama tentang hidup a la korea. Dan entah kenapa Janine atau dia akan sangat senang sekali dipanggil Jin An benar – benar tidak bergeming dari depan ddokpokki nya.
“Do you know Who is Jung JiHoon?” Dan sepertinya kata terakhir itu sanggup membuat perhatiannya teralih dan mendekat ke arahku.
“Hwaa~~~~~” aku menutup telingaku, suara kakakku yang satu ini benar – benar menulikan telingaku
“Jinjjaeyo? Jjinjaeyo? Jinjaeyo?” kali ini dia tambah brutal, dia bahkan mengguncang – guncang bahuku. Sepertinya aku harus menuntut Jung jihoon kalau bertemu dengannya lagi atas tuduhan menghipnotis kakakku sampai gila dengan sebuah kartu nama
“Ummmmmma, kemari.. Jeballlllll~~~!!!” dan ide gila mana lagi tiba – tiba kakakku satu – satunya ini memanggil ibuku, dan saat ibu dating, tanpa diminta kakakku menceritakan hal – hal yang bahkan aku belum ceritakan. Aku curiga dua hal, pertama jangan – jangan kakakku ini bisa membaca pikiran atau jangan – jangan kakakku ini orang suruhan si Jihoon itu.
“Okeh, jadi Minggu depan kita belanja baju dan make over total Jinsa.” Entah kenapa tiba – tiba muncul ide gila
“What?!” aku berteriak, tapi tak ada yang peduli toh suara teriakanku tenggelam diantara kegembiraan kakak dan ibuku.

0 komentar: